Ilustrasi |
Setiap anak lelaki kelak akan menikah dan membangun sebuah keluarga kecil bersama wanita yang telah dipilihkan oleh Allah untuknya. Tidak mudah memang ketika wanita pilihan hati ini mau tidak mau harus berhadapan dengan sang ibu mertua.
Wanita yang telah melahirkan, menjaga, mengasuh dan mendidik pujaan hatinya tersebut. Tentu saja tidak ada yang mengalahkan perasaan seorang ibu terhadap anaknya.
Ketika berbicara tentang dua perempuan yang sama-sama mencintai seorang lelaki, banyak terdapat “perang dingin” di dalamnya. Ini merupakan hal yang tidak dapat dipungkiri lagi, saya yakin beberapa muslimah mengalami hal serupa di tahun-tahun awal pernikahan.
Mertua merupakan orang ketiga dalam sebuah perkawinan. Pada satu sisi, ini merupakan keberkahan yang diberikan oleh Allah karena tentu sang menantu telah memiliki dua orang ibu. Di sisi lain, tidak dipungkiri bahwa masih ada mertua yang suka mencampuri wilayah domestik rumah tangga anaknya. Hipotesisnya adalah sang mertua masih belum bias melepas anaknya yang telah menjadi seorang kepala rumah tangga (bagaimanapun, anak tetaplah anak) dan kurangnya rasionalitas serta keterbukaan karena anaknya telah menjadi seorang kepala rumah tangga. Seorang menantu berperanan membahagiakan kehidupan anak sang mertua. Apabila mertua tersebut campur tangan dalam urusan yang tidak sepatutnya, tentu hal ini akan merusak rumah tangga sang anak. Islam meletakkan ‘kuasa mengurus rumahtangga’ di tangan istri, bukan ibu atau ibu mertua. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang bermaksud:
“Seorang istri adalah pemimpin di rumah suaminya dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim).
Pada dasarnya, hubungan menantu dan mertua sepatutnya seperti hubungan seorang anak dengan kedua ibu bapaknya. Apabila seorang lelaki atau wanita menerima kehadiran seseorang sebagai pasangan hidupnya, seharusnya juga dia menerima keluarga pasangannya. Sang menantu hendaklah menganggap mertua sebagai orang tuanya, dan sang mertua juga menganggap sang menantu layaknya anaknya sendiri. Namun, kenyataannya adalah masih ada perseteruan di dalam hati. Ada kalanya sang menantu sudah berusaha untuk mencairkan suasana agar sang ibu mertua merasa seperti ibunya sendiri, namun amat disayangkan ketika sambutan sang mertua selalu sinis dan malahan selalu membuat hati istri anaknya tersebut sedih. Seharusnya, sebagai mertua yang telah memiliki pengalaman hidup yang lebih banyak dari sang menantu, tentu beliau seyogianya lebih bijaksana. Nah, bagi sang menantu, bersabarlah. Mungkin ada sedikit api amarah yang terpercik di dalam hati.
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menghadapi mertua yang demikian:
Mertua merupakan orang ketiga dalam sebuah perkawinan. Pada satu sisi, ini merupakan keberkahan yang diberikan oleh Allah karena tentu sang menantu telah memiliki dua orang ibu. Di sisi lain, tidak dipungkiri bahwa masih ada mertua yang suka mencampuri wilayah domestik rumah tangga anaknya. Hipotesisnya adalah sang mertua masih belum bias melepas anaknya yang telah menjadi seorang kepala rumah tangga (bagaimanapun, anak tetaplah anak) dan kurangnya rasionalitas serta keterbukaan karena anaknya telah menjadi seorang kepala rumah tangga. Seorang menantu berperanan membahagiakan kehidupan anak sang mertua. Apabila mertua tersebut campur tangan dalam urusan yang tidak sepatutnya, tentu hal ini akan merusak rumah tangga sang anak. Islam meletakkan ‘kuasa mengurus rumahtangga’ di tangan istri, bukan ibu atau ibu mertua. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang bermaksud:
“Seorang istri adalah pemimpin di rumah suaminya dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim).
Pada dasarnya, hubungan menantu dan mertua sepatutnya seperti hubungan seorang anak dengan kedua ibu bapaknya. Apabila seorang lelaki atau wanita menerima kehadiran seseorang sebagai pasangan hidupnya, seharusnya juga dia menerima keluarga pasangannya. Sang menantu hendaklah menganggap mertua sebagai orang tuanya, dan sang mertua juga menganggap sang menantu layaknya anaknya sendiri. Namun, kenyataannya adalah masih ada perseteruan di dalam hati. Ada kalanya sang menantu sudah berusaha untuk mencairkan suasana agar sang ibu mertua merasa seperti ibunya sendiri, namun amat disayangkan ketika sambutan sang mertua selalu sinis dan malahan selalu membuat hati istri anaknya tersebut sedih. Seharusnya, sebagai mertua yang telah memiliki pengalaman hidup yang lebih banyak dari sang menantu, tentu beliau seyogianya lebih bijaksana. Nah, bagi sang menantu, bersabarlah. Mungkin ada sedikit api amarah yang terpercik di dalam hati.
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menghadapi mertua yang demikian:
1. Ingatlah bahwa beliaulah yang telah melahirkan, membesarkan, merawat dan mendidik suamimu hingga dia bisa sukses seperti sekarang dan memilih dirimu sebagai orang yang ia cintai.
2. Memohon ampunlah selalu kepada Allah. Bersihkan hati dengan tobat dan berdzikir pada-Nya. Kuatkan hati, tetaplah fokus pada tujuan Anda dan ingatlah bahwa ganjaran yang diberikan Allah Subhana wa ta’ala itu lebih melebihi apapun yang ada di dunia ini. Jadikan surga sebagai tujuan Anda. Orang tua suami Anda adalah orang tua Anda. Jangan sampai Anda menjadi durhaka dan masuk ke dalam neraka.
3. Belajarlah untuk menerima kenyataan. Jangan sampai amalan yang telah Anda lakukan menjadi sia-sia hanya karena sikap mertua yang tidak menyenangkan. Dewasalah. Anda tidak perlu larut dalam kesedihan. Ingatkan diri Anda untuk selalu menguatkan hati dan luruskan niat semata karena Allah.Sumber: www.dakwatuna.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar