(http://sukhoi.org) |
Ada penumpang yang masuk ke kokpit dan ngobrol dengan pilot.
Arfi Bambani Amri, Iwan Kurniawan, Siti Ruqoyah
VIVAnews - Setelah tujuh bulan melakukan investigasi, Selasa
18 Desember 2012 Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mengumumkan penyebab jatuhnya Sukhoi. Pesawat Superjet 100 buatan Rusia itu, jatuh di Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat, pada 9 Mei 2012. Hasil investigasi komite itu tidak menemukan kerusakan peralatan pada pesawat selama penerbangan berlangsung.Dalam jumpa pers yang digelar di Kementerian Perhubungan Selasa siang tadi, Ketua KNKT Tatang Kurniadi menguraikan bahwa pesawat itu celaka pada penerbangan kedua. Nomor registrasi pesawat ini 97004 dengan nomor penerbangan RA 36801. Pada pukul 07.30 UTC (Coordinated Universal Time) atau 14.20 WIB, pesawat mengudara dari landasan 06 Halim Perdanakusuma. Kemudian berbelok ke kanan hingga mengikuti ke radial 200 HLM VOR dan naik hingga ketinggian 10 ribu kaki.
Kemudian pada pukul 14.24 WIB, pilot melakukan komunikasi dengan Jakarta Approach dan memberikan informasi bahwa pesawat telah berada pada radial 200 HLM VOR dan telah mencapai ketinggian 10 ribu kaki. Pada pukul 14.26 WIB, pilot meminta izin untuk turun ketinggian 6.000 kaki serta untuk membuat orbit.
Tujuan menurunkan ketinggian ke 6 ribu kaki dan membuat orbit adalah agar pesawat tidak terlalu tinggi saat proses pendaratan di Halim Perdanakusuma.
Lalu pada pukul 14.32 lewat 26 detik, berdasarkan waktu yang tercatat di Flight Data Recorder (FDR), pesawat menabrak tebing Gunung Salak pada radial 198 dan 28 Nm HLM VOR atau pada koordinat 06 derajat 42'45” Lintang Selatan 106 derajat 44'05” Bujur Timur dengan ketinggian sekitar 6 ribu kaki di atas permukaan laut.
Tiga puluh delapan detik sebelum benturan, Terrain Awareness Warning System (TAWS) memberikan peringatan berupa suara "Terrain Ahead, Pull Up" dan diikuti oleh 6 kali "Avoid Terrain". PIC mematikan (inhibit) TAWS tersebut karena berasumsi bahwa peringatan-peringatan tersebut diakibatkan oleh database yang bermasalah.
Selain itu, tujuh detik menjelang tabrakan, terdengar peringatan berupa suara "Landing Gear Not Down" yang berasal dari sistem peringatan pesawat. Peringatan "Landing Gear Not Down" aktif apabila pesawat berada pada ketinggian kurang dari 800 kaki di atas permukaan tanah dan roda pendaratan belum diturunkan.
Pada pukul 14.50 WIB petugas Jakarta Approach menyadari bahwa pesawat shukoi yang membawa 45 penumpang dan kru ini sudah hilang di layar radar. Tidak ada bunyi peringatan sebelum lenyapnya titik target pesawat dari layar radar.
Tabrakan Bisa Dihindari
KNKT menegaskan bahwa kecelakaan seharusnya bisa dihindari. "Hasil simulasi yang dilakukan setelah kejadian diketahui bahwa TAWS berfungsi dengan baik dan memberikan peringatan yang benar," kata Ketua KNKT Tatang Kurniadi. "Simulasi juga menunjukan bahwa benturan dapat dihindari jika dilakukan tindakan menghindar sampai dengan 24 detik setelah peringatan TAWS yang pertama," katanya.
Sementara pelayanan radar Jakarta belum mempunyai batas ketinggian minimum untuk melakukan "vector" (perintah berupa arah yang diberikan pengatur lalu lintas udara) pada suatu daerah tertentu dan minimum safe altitude warning (MSAW). Karena itu, sistem di Jakarta tidak memberikan peringatan kepada petugas Jakarta sampai kemudian pesawat menabrak.
Karena itu, investigasi KNKT menyimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor yang berkontribusi terhadap kecelakaan tersebut, antara lain, pertama, awak pesawat tidak menyadari kondisi pegunungan di sekitar jalur penerbangan yang dilakui karena beberapa faktor dan berakibat awak pesawat mengabaikan peringatan dari TAWS.
Kedua, radar Jakarta belum mempunyai batas ketinggian minimum pada pesawat yang diberikan vector serta belum dilengkapi dengan MSAW yang berfungsi untuk daerah Gunung Salak. Pesawat bahkan tidak dilengkapi dengan peta Bogor.
Ketiga, ada penumpang yang masuk ke dalam kokpit pesawat dan ngobrol dengan pilot. Percakapan dengan penumpang yang masuk itu menganggu konsentrasi sang pilot. Masuknya penumpang ke kokpit itu memang menimbulkan pertanyaan. Sebab aturan penerbangan di seluruh dunia melarang keras penumpang masuk kokpit saat pilot tengah menerbangkan pesawat.
“Kalau dalam penerbangan rutin, pasti tidak boleh ada penumpang di kokpit. Tapi biasanya kalau penerbangan demonstrasi, pembeli potensial memang selalu diizinkan berada di kokpit untuk melihat-lihat,” kata Tatang Kurniadi, usai jumpa pers.
Ia menambahkan, pilot Sukhoi sendiri, Alexander Yablontsev, merupakan pilot dengan pengalaman luar biasa. “Ia bahkan memiliki rekam jejak yang sangat bagus dalam menerbangkan pesawat tempur Rusia.”
Investigator in charge, Mardjono, menyampaikan bahwa terjadi diskusi yang cukup lama antara penumpang di kokpit itu dengan pilot dan kopilot, sehingga perhatian pilot teralihkan. Saat terjadi obrolan itulah kopilot bertanya kepada pilot, apakah akan pulang atau membuat orbit baru. Kopilot mengulang pertanyaan tersebut sebanyak tiga kali. “Dan dijawab pulang,” kata Mardjono.
Sang kopilot sesungguhnya terus minta agar pesawat diterbangkan ke arah barat laut. Namun saat itu pilot tetap saja berbincang dengan penumpang yang masuk ke kokpit itu. “Karena ada pembicaraan itu, maka arahnya nyelonong,” ujar Mardjono. Sebelum menabrak gunung, pesawat telah memberikan peringatan berulang-ulang, namun diabaikan oleh pilot dan kru pesawat.
Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Mikhail Golozin, menyatakan, kecelakaan ini merupakan gabungan dari sejumlah faktor yang kurang baik, termasuk kinerja sistem pesawat. Dia berharap hasil investigasi ini bisa dijadikan pelajaran oleh dunia penerbangan untuk memperbaiki sistem. "Yang paling penting, hasil laporan tersebut bisa digunakan untuk mencegah adanya musibah-musibah yang sama di masa yang akan datang," tutur dia.
Dua Maskapai Siap Pakai Sukhoi
Dan hasil investigasi ini menguatkan uji yang dilakukan Kementerian Perhubungan yang sudah menerbitkan sertifikasi laik terbang untuk pesawat buatan Rusia ini. Otoritas Penerbangan Sipil Indonesia sudah melakukan validasi sertifikasi atas SSJ-100, nama lain Superjet 100. Tim validasi itu mengunjungi pabrik Sukhoi dan melihat desain dan mesin pesawat.
Produsen pesawat sipil milik pemerintah Rusia ini menilai Asia kini sudah menjadi pasar yang strategis bagi industri pesawat komersil. “Proses negosiasi berlangsung di seluruh dunia, tetapi kami melihat kawasan Asia memiliki potensi dan prioritas yang paling besar. Kami melihat semua, perkembangan di China, India dan negara-negara Asia Tenggara,” kata Igor Sirtsov, Wakil Presiden Senior dari Grazhdanskie Samolety Sukhogo (GSS), produsen pesawat sipil Sukhoi.
Ada dua maskapai Indonesia yang sudah memesan SSJ-100, yaitu Kartika Airlines dan Sky Aviation. Masing-masing maskapai ini memesan 30 dan 12 unit dengan harga per pesawat sekitar US$30 juta atau Rp288,5 miliar. Perusahaan penerbangan Sky Aviation tahun ini akan mendapat pesawat SSJ 100 untuk pertama kalinya.
“Kami hampir selesai untuk diskusi perjanjian leasing. Dan sekarang sedang berjalan proses pembiayaan dengan perjanjian leasing untuk 3 pesawat pertama pesanan Sky Aviation,” kata Sirtsov.
Menurut General Manager Marketing Sky Aviation, Sutito Zainudin, untuk membeli 12 pesawat jet ini, perusahannya menggelontorkan dana hingga US$308,4 juta atau sekitar Rp2,97 triliun. Kontrak pembelian sudah diteken di arena International Aviation and Space Salon MAKS 2011 di Zhukovsky, Rusia, pada 2011.
Komitmen kuat untuk mendatangkan Sukhoi Superjet 100 juga datang dari manajemen Kartika Airlines. Direktur Komersial Kartika Airlines, Aditya Wardana, mengatakan pesawat-pesawat yang dipesan perusahaannya akan tiba mulai Mei 2013.
Kartika Airlines menandatangani kontrak pembelian 30 pesawat SSJ-100 pada Juli 2010 lalu dengan estimasi nilai US$951 juta saat Farnborough International Airshow di Inggris. Pesawat yang dipesan memiliki kapasitas 100 penumpang. Aditya mengakui, pengiriman pesawat pesanan mereka sempat tertunda akibat kecelakaan di Gunung Salak pada Mei 2012.
VIVA.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar